Beasiswa S2, Sebuah Impian yang Makin Nyata

maxCatatan: Tulisan ini ditulis medio tahun 2013. Filenya baru ketemu hari ini, setelah utak-atik kompie kantor. Tulisan ini adalah salah satu syarat wajib yang diserahkan kepada pihak Magister Ilmu Komunikasi Universitas Andalas, untuk mengetahui apa alasan saya (secara tertulis) mendaftar di prodi tersebut. FYI, saya menamatkan kuliah ini pada 17 Juni 2015 silam. So, tulisan ini jadul sekali, semoga tetap menginspirasi…

*********

 

“Kesempatan datang bagai awan berlalu. Pergunakanlah  ketika ia nampak di hadapanmu.” [Ali bin Abi Thalib]

                 QUOTE di atas cocok sekali dengan apa yang saya alami. Kesempatan untuk ikut beasiswa S2 ini, adalah kali kedua saya mendapatkannya. Dulu, tahun 2002 lalu, saya sebenarnya nyaris saja tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana Universitas Andalas untuk magister hukum. Tapi nasib menentukan lain, mungkin bukan takdir saya untuk menggeluti bidang hukum.

Kala itu, Pemprov Riau menyediakan beasiswa bagi putra daerah yang ingin melanjutkan pendidikan S1 ke S2 untuk seluruh jurusan. Berbekal impian untuk mendaki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, saya mencoba untuk ikut seleksi beasiswa. Pilihan pertama saya adalah Prodi Ilmu Lingkungan. Mengandalkan  sedikit pengetahuan soal lingkungan yang saya dapat sebagai peliput tetap masalah Amdal di Bapedalda Sumbar, saya melamar ke Unand.

Setelah semua berkas didapat dari staf administrasi Ilmu Lingkungan ini, saya langsung menghadap ke Ketua Prodinya, Dr Ardenis Arbain. Begitu tahu latar belakang pendidikan saya adalah Sosiologi, bukan dari eksakta yang jadi persyaratan penerimaan calon mahasiswanya, Ardenis langsung menolak keinginan saya. Katanya, “Ilmu Lingkungan hanya diperuntukkan untuk alumni eksakta, bukan non eksakta.”

Saya langsung membantah. “Setahu saya, setiap persoalan lingkungan selalu membutuhkan kajian dampak sosial. Dan kajian yang paling penting dalam pembahasan Amdal adalah masalah sosial ini, karena manusialah yang akan merasakan dampaknya. Dan itu sesuai sekali dengan latar belakang sosiologi saya.”

“Anda betul,” katanya. “Tapi, kami belum membuka program studi ini untuk anak-anak (alumni S1-red) sosial. Kami masih fokus kepada eksakta. Karena yang akan dipelajari itu tentang pencemaran, kandungan BOD, COD, dan sebagainya. Kalau memang anda berminat betul, silahkan mendaftar di UNP saja. Di sana memang tersedia untuk non eksakta,” sarannya.

Pupus sudah harapan saya. Lantaran Universitas Negeri Padang (UNP) tidak masuk dalam kategori kampus sasaran yang akan dibiayai dengan dana APBD Provinsi Riau. Untuk Sumbar, hanya “bersekolah” di Unand yang bakal ditanggung Pemprov Riau.

Tapi, itu tidak membikin saya mati langkah. Bukan tipikal saya untuk menyerah sebelum berperang.  Kesempatan masih ada. Saya lantas memutar haluan untuk melamar ke prodi ilmu hukum. Dari sekian puluh pendaftar, hanya 30 calon mahasiswa yang akan diterima. Itu artinya, saya harus bersaing dengan para sarjana hukum yang sudah menjadi praktisi sebagai hakim, jaksa, polisi, dan pengacara. Tak ada salahnya untuk mencoba bukan?

Dengan ilmu hukum yang hanya secuil saya dapatkan dari mata kuliah Sosiologi Hukum dan Kriminologi ketika kuliah dulu, saya pun ikut tes. Hasilnya…., dari sekitar 50-an peserta, saya berada di peringkat 38. Gugurlah kesempatan saya. Tapi saya tetap bangga. Karena, masih ada peserta nomor 39, 40, 41 dan seterusnya yang saya “kalahkan” dengan asumsi mereka pastilah praktisi-praktisi hukum bernasib naas yang ditebas “pisau” ujian seperti halnya saya. Tapi saya (merasa) menang, karena saya kalah lantaran bukanlah sebagai orang berlatar belakang ilmu hukum seperti mereka.

Untuk sementara, lembaran impian menyandang titel magister di belakang nama, saya tutup dulu. Sebenarnya bisa saja saya memaksakan untuk mendapatkan itu, tapi konsekuensinya harus menguras kantong pribadi guna membiayai kuliah yang anggarannya mencapai puluhan juta. Manalah saya punya uang. Bekerja masih serabutan sebagai wartawan, orang tua tidak pula hartawan, biarlah impian itu mengawang-awang di awan.

***

“Sebagian orang mengatakan kesempatan hanya datang satu kali. Itu tidak benar. Kesempatan itu selalu datang, tetapi anda harus siap menanggapinya.”           [Louis L’amour, Novelis Amerika]

Kesempatan itu datang lagi. Saatnya menjemput impian yang mengawang-awang di awan. Kementerian Komunikasi dan Informasi RI (Kemen Kominfo) memberi kesempatan kepada pegawai negeri sipil (PNS) untuk menimba ilmu di bidang komunikasi di jenjang pendidikan magister. Bekerjasama dengan Universitas Andalas (salah satunya dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia-red), disediakan “uang negara untuk bersekolah”.

Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Begitulah…, hingga akhirnya saya mendaftarkan diri dan membuat tulisan soal proyeksi untuk ikut program ini.  Berbeda dengan pilihan program studi yang saya pilih 11 tahun lalu, ilmu komunikasi ini bagaikan pinang pulang ke tampuknya.

Pernah menjadi wartawan yang tak lagi serabutan pasca ikut program S2 yang gagal dulu, mungkin inilah kesempatan yang dibentangkan Allah setelah kegagalan itu. Diskenariokannya hidup saya untuk menjadi praktisi bidang komunikasi sebagai pekerja media dari rentang waktu 2002 hingga 2009. Mulai dari jadi reporter, asisten redaktur, redaktur, koordinator liputan, redaktur pelaksana hingga menjadi wapempred di Posmetro Padang selama rentang waktu itu. Dan pernah pula sebagai pemred yang merintis berdirinya portal berita www.padang-today.com, Allah begitu detail menyusun skenarionya.

Puncak dari alur yang telah diatur-Nya, saya akhirnya diberi kesempatan untuk menjadi PNS, setelah dianggap cukup berkecimpung di media. Saatnya mengabdi di ladang yang berbeda sebagai abdi negara. Dulu mengkritik, sekarang harus siap dikritik. Minimal melakukan otokritik untuk diri sendiri, bahwa hidup harus dijalani dan diberi arti.

Resmi menjadi CPNS pada tahun 2010 dan diangkat di 2011, status saya sebagai mantan wartawan ternyata tak begitu saja hilang. Walau bekerja sebagai penyuluh keluarga berencana (PKB) pada Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Padang Panjang, saya berkali-kali diminta atasan untuk mendokumentasikan kegiatan kantor sebagai fotografer, membuat rilis kegiatan ke media, bahkan “menghadapi” wartawan jadi-jadian yang membikin susah Sang Kepala. Itu tidak mudah, butuh kemampuan public relation yang mumpuni untuk berhadapan dengan wartawan semacam itu. Dan saya sadari, belum mempunyai kemampuan ke arah itu.

Di samping itu, di tengah “keasyikan” saya menjalani profesi baru sebagai penyuluh keluarga berencana yang (ternyata) sangat menyenangkan, saya diam-diam akan ditarik ke Bagian Humas Pemko Padang Panjang, dengan alasan saya pernah jadi wartawan. Saya menolak, karena –kembali saya sadari– saya belum punya kemampuan public relation untuk bekerja di Bagian Humas. Karena, jelas berbeda ketika menjadi praktisi media yang biasa dilayani Humas, dengan menjadi Humas yang harus melayani pekerja media. Terus terang, saya belum punya ilmu itu.

Dan, sekarang “ilmu” yang saya tidak punya itu, dibentangkan melalui program beasiswa ini. Menjadi public relation yang mampu menjembatani antara publik dengan organisasi tertentu, sehingga akan tercipta saling pengertian dan akan menimbulkan hubungan yang baik dan kepercayaan dari publik terhadap organisasi atau lembaga tersebut, demikian disebutkan salah satu tujuan adanya program ilmu komunikasi ini seperti tertera dalam brosurnya.

Dan itulah kesempatan itu. Karena, sebagai PNS tidak akan mungkin selamanya saya menjadi PKB. Dipastikan bakal “menikmati” mutasi sebagaimana biasa dialami PNS lainnya. Salah satu kemungkinannya, pasti suatu saat akan merasakan bekerja di Bagian Humas, –sekali lagi– karena alasan pernah jadi wartawan. Bukankah qadarullah wa man saa faala? Siapa pernah tahu Allah sudah menyiapkan skenario berikutnya?

Pun kalau tidak, semisalnya saya tetap bertahan sebagai PKB dalam waktu lama, ilmu komunikasi ini tetap penting. Karena berjalannya program KB tertumpang sepenuhnya kepada kesuksesan pelaksanaan KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) kepada masyarakat. Dituntut sebuah kemampuan (meminjam kalimat dari brosur) untuk meningkatkan pelayanan secara profesional. Tak mungkin bisa menjadi profesional bila tidak ditopang dengan pengetahuan yang sesuai dengan kegiatan yang kita geluti.

Berhadapan dengan masyarakat, kader, calon akseptor dan stake holder yang berkepentingan dengan suksesnya program KB, jelas butuh kemampuan berkomunikasi itu. Berkomunikasi bukan hanya soal pandai bicara, tapi dibutuhkan lebih dari itu. Dibutuhkan kemampuan paripurna, harus mengerti psikologi massa, harus tahu komunikasi dan perubahan sosial, mesti pandai lobi dan negosiasi, dan tentu saja kudu paham dengan komunikasi antar budaya, serta manajemen komunikasi krisis.

Semua itu, sudah “disiapkan” dalam rangkaian mata kuliah sebanyak 38 SKS di program magister ilmu komunikasi ini.

Maka tidak ada alasan lagi bagi saya untuk mengabaikan kesempatan ini. Karena seperti dikatakan Louis L’Amour, kesempatan itu selalu datang. Tapi, tidak selalu pernah sama setiap satu kesempatan dengan kesempatan lainnya. Sekaranglah saatnya.

Sekaranglah saatnya bagi saya untuk mewujudkan impian itu. Sekaranglah saatnya untuk saya menunjukkan bahwa saya bisa untuk benar-benar serius kuliah lagi. Karena saya sadari sepenuhnya, ketika kuliah S1 dulu, saya terlalu disibukkan dengan kegiatan kemahasiswaan sebagai anggota Mapala Unand, sehingga kuliah “terabaikan” yang berbuah dengan Indeks Prestasi yang hanya mencapai angka 2,92 saja. Saya yakin bila saya serius –untuk kesempatan yang datang kali ini–  “rekor” itu bisa saya pecahkan. Man jadda wajada, begitu kata Ahmad Fuadi dalam novel Negeri Lima Menara-nya. Siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan berhasil. Insya Allah.

Sekaranglah saatnya, tidak hanya mewujudkan impian saya semata, juga mewujudkan keinginan almarhum abak saya yang baru berpulang pada 18 April 2013 lalu. “Bialah abak indak tamat SD, tapi waang (jo adiak-adiak) harus basikolah labiah tinggi dari abak!” Insya Allah… (***)

 

 

 

Haru Biru Bertemu Pak Guru

nursalMatanya terlihat berkaca-kaca, tatkala kami memasuki rumahnya. Kami pun sempat terkesiap, ketika sepintas melihat perawakannya terkini. Lalu mencoba memandang lekat-lekat, benarkah pria yang ada di hadapan kami ini, adalah H Nursal BA yang akrab disapa Pak Nursal. Apakah kami salah orang, atau memang beginilah kondisinya sekarang.

Ternyata kami tak salah orang. Pria tua inilah yang kami tuju, walau demi itu, sebagian teman-teman harus menempuh perjalanan jauh dari Kota Pekanbaru menuju perkampungan kecil di Padang Jopang, Kecamatan Mungka, Kabupaten Limapuluh Kota, Provinsi Sumatera Barat yang jaraknya ratusan kilo.

Kami; Musli “Atuk” Haryandi (Fis 2), Musdalifah “Mpok Ipeh” Devi Pratiwi (Sos3), Taufik “Boy” Hidayat (Sos3), Taufik “Fiko” Asmara (Sos3), Weni Silvia (Sos2) dan saya, Maryulis Max (Sos 3) langsung sungkem dan memeluk tubuh ringkih itu.

Sebentar saja di ruang tamu, dia langsung mengajak kami ke ruang tengah. Di ruang itu, di atas spring bed yang sengaja di taruh di sana, dia menghabiskan hari-harinya. Di atas spring bed itu, dia lebih banyak menjalani hari-harinya akibat parkinson yang dideritanya.

Dari atas spring bed itu pula dia sepertinya menatap dunia, karena di depannya ada televisi yang setiap saat mengantarkan berita. Di atas spring bed itu pula dia menyiapkan kepentingan ukhrawinya melalui kitab suci al Quran yang dibaca dan ditaddaburinya seusai sholat lima waktu. Dan mungkin karena itu, beliau bersengaja membawa kami ke ruang ini, agar kami tahu bahwa inilah dunianya saat ini. Dunia yang telah dibatasi gerak fisik karena sakit, aktivitas yang tak lagi mobile seperti dulu.

Kepada kami, dia menceritakan sakit parkinsonnya dengan caranya sendiri. Melalui HP-nya dia searching di google apa itu parkinson, lalu dia suruh saya untuk membacakan gejala-gejala penyakit seperti yang tertera di laman web itu. Dia mengangguk dan mengiyakan setiap gejala yang saya bacakan. Di setiap anggukannya, ada rasa nelangsa di dirinya yang saya rasakan, namun beliau berupaya untuk kuat, sepertinya.

Kami tak ingin membiarkannya larut dengan cerita soal sakit yang menjangkitinya. Pembicaraan dialihkan kepada kenangan, perkembangan, kondisi terkini tentang kita para alumni, dan juga guru-guru dulu.

Alih-alih mengubah suasana, justru malah mengharu biru. Dia terharu mendengar murid-muridnya dulu, kini sudah banyak menjadi orang sukses. Dia tersedu sedan, ketika diceritakan kelakuan murid-muridnya dulu. Dan dia terisak kemudian menangis ketika mengingat dengan terang semua kisah yang diceritakan kepadanya. Sepertinya, itulah caranya bangga atas kisah sukses para alumni 96 ini, karena di balik kisah itu ada sedikit perannya di sana. Sedikit, namun bermakna…

Bercakap dengan pria yg di kampungnya akrab disapa dengan Datuk Ican ini, memang harus sedikit sabar. Karena suaranya tidak lagi selantang dulu. Sayup-sayup sampai, namun bisa dimengerti. Ingatannya di usianya yang sudah 72 tahun, masih bagus. Dia dengan mudah menyebutkan nama-nama rekan sejawatnya dulu ketika menjadi guru di Smansix tatkala diperlihatkan foto-foto kegiatan reuni 20 tahun yang dilangsungkan 9 Juli lalu. Juga bisa mengingat nama-nama sebagian alumni dan meminta agar diperlihatkan fotonya. Melihat foto, mimiknya acap kali berubah, kadang tersenyum, tertawa, tiba-tiba terharu. Dan kami, menyaksikannya dengan termangu.

Keharuan terjadi lagi, begitu salah seorang alumni, Kompol Efrizal, S.I.K yang tengah menjalani Sespim di Bandung menelepon dirinya. Bagi Efrizal, Pak Nursal menempati sisi tersendiri di hatinya. Karena guru bahasa Inggris itulah yang dulu kerap memanggilnya dengan sebutan ‘Letnan’, yang ternyata menjadi doa yang terwujud dengan posisi perwira menengah kepolisian yang kini berada di pundaknya. Mendengar mereka saling berkomunikasi, bagaikan seorang bapak bicara pada anaknya. Padahal dulu, ketika di bangku sekolah, entahlah… Xixixixi

Hanya beberapa jam kami di rumah ini (yang untuk sampai di sini tersesat beberapa kali dan tanya sana sini). Kami dijamu makan sore yang kata Pak Nursal sengaja disiapkan untuk menyambut kedatangan kami.

Dan waktu untuk pulang itu tiba, petang sudah menjelang. Kami harus pamit. Tak lupa kami menyerahkan bantuan tali kasih dari teman-teman alumni sebesar Rp 5 juta dan bingkisan dari kegiatan reuni lalu. Uang senilai Rp 5 juta itu, mudah-mudahan dapat membantu biaya pengobatannya yang tidak murah.

Setiap bulan, seperti diutarakan istri Pak Nursal, dibutuhkan biaya Rp 1 juta untuk menebus obat dan terapi ke rumah sakit. Jika ada duit Rp 2 juta, mereka biasanya langsung menebus obat untuk stok 2 bulan. Sehingga tak perlu bolak-balik ke apotik, sekaligus menghemat biaya transportasi.

Ketika kami harus benar-benar pamit, Pak Nursal sepertinya tak rela kami pergi. Air mata luruh dari pelupuk matanya, lalu terdengar isak itu. Tangisnya pecah. Setelah dirinya merasa siap untuk membiarkan kami pergi, kami langsung berlalu. Namun rasa haru itu, tidak begitu saja berlalu. (max)

KB Pak Gubernur

kbAPA jadinya bila Gubernur Sumbar Irwan Prayitno mengimbau masyarakat untuk menyukseskan program Keluarga Berencana (KB)? Dijamin akan muncul banyak tanggapan miring, mengingat beliau sendiri berlatar belakang keluarga besar alias “KB” (KB tanda kutip).

Itu pernah terjadi ketika yang bersangkutan menulis artikel KB di sebuah harian lokal beberapa waktu lalu, yang langsung melahirkan banyak tanggapan dari berbagai kalangan. Beragam tanggapan dan komentar panjang lebar muncul tatkala salah satu akun di Facebook meng-capture tulisan Irwan tersebut. Kesan yang tertangkap, sepertinya ada yang salah bila Pak Gub ngomongin KB.

Apanya yang salah? Bagi para pengkritik, tidak pas bila Pak Gub menyarankan masyarakat untuk ber-KB, sementara yang bersangkutan justru ber-Keluarga Besar. “Urang basuruah ba-KB, nan inyo baranak banyak,” demikian kesimpulan dari beragam komentar di status FB itu.

Munculnya tanggapan miring serupa ini, lantaran masih adanya kesalahan persepsi banyak orang terhadap program KB. Di benak sebagian besar orang, ber-KB adalah beranak dua, tidak tiga, tidak empat, tidak lima dan seterusnya. Apalagi jumlahnya sampai bisa membentuk sebuah kesebelasan.

Persepsi ini, sebenarnya juga tidak salah. Justru memperlihatkan keberhasilan pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto dalam “memasarkan” program KB melalui kampanye “Dua Anak Cukup”. Sehingga sampai sekarang, orang akan tetap beranggapan tidak bisa disebut ber-KB bila sebuah keluarga beranak lebih dari dua.

Perkembangan zaman, perubahan era dan pergantian kepemimpinan, telah membawa KB dalam kondisi berbeda dibanding sebelumnya. Perubahan signifikan, terjadi pascapelaksanaan International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994 di Kairo, Mesir. KB yang dulunya lebih mengutamakan aspek demografis, berubah dengan lebih mengedepankan Hak Azasi Manusia dan gender, yang menyelaraskan pemberdayaan perempuan dan pemenuhan kebutuhan penduduk terhadap pendidikan dan kesehatan, termasuk kesehatan reproduksi.

Bila dulu KB itu identik dengan pembatasan kelahiran (melalui kampanye dua anak cukup), sekarang KB telah berubah menjadi pengaturan kelahiran (yang tergambar melalui kampanye dua anak lebih baik, sebelum kemudian kembali ke tagline dua anak cukup). Tidak sebatas mengatur kelahiran, KB era sekarang juga telah “ditumpangi” dengan program yang jauh lebih lengkap dengan tambahan: pendewasaan usia perkawinan, ketahanan keluarga dan peningkatan kesejahteraan keluarga.

KB sekarang tidak lagi melulu menyuruh orang memakai alat kontrasepsi dan beranak dua. Tidak. Program KB sekarang sudah mencakup seluruh siklus hidup manusia, mulai dari kehidupan Balita, Remaja, Pasangan Usia Subur (PUS), hingga Lansia. Untuk sebagian siklus ini, dibentuk program ketahanan keluarga berupa Bina Keluarga Balita (BKB), Bina Keluarga Remaja (BKR), dan Bina Keluarga Lansia (BKL). Khusus remaja, dengan target pendewasaan usia perkawinan dan kesehatan reproduksi, dilakukan penajaman dengan membentuk Pusat Informasi dan Konseling (PIK) Remaja di sekolah-sekolah dan di luar sekolah. Dan sekarang sedang digalakkan pula Genre (Generasi Berencana) untuk para mahasiswa. Sementara untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga yang menjadi sasaran program KB (atau yang telah ber-KB) diakomodir lagi dengan program UPPKS (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera). Tak hanya itu, saat ini pun sedang gencar-gencarnya pembentukan Posdaya (Pos Pemberdayaan Keluarga) yang dimotori mantan kepala BKKBN Haryono Suyono melalui Yayasan Damandiri miliknya.

Begitu luasnya cakupan program KB, ini tidak lepas dari permasalahan dan tantangan yang dihadapi bangsa ini yang tergambar jelas dalam RPJMN 2010-2014. Yaitu, pertama, jumlah penduduk yang besar dengan laju pertumbuhan dan pertambahan penduduk masih tinggi. Kedua, disparitas Total Fertility Rate (TFR/Angka Kelahiran Total) masih tinggiantarprovinsi. Khusus Sumbar, berdasarkan SDKI 2007 memiliki TFR 3,0 jauh di atas rata-rata nasional yang hanya 2,3. Ketiga, tingkat pemakaian kontrasepsi (Contraceptive Prevalence Rate/CPR) masih rendah. Keempat, masih tingginya unmet need (kebutuhan ber-KB yang tidak terlayani-red), di Sumbar mencapai 11,2 dari rata-rata nasional 9,1. Kelima, pengetahuan dan kesadaran remaja dan pasangan usia subur tentang KB dan kesehatan reproduksi masih rendah.

Dengan kondisi demikian, bisa dikatakan isu kependudukan dan pembangunan keluarga sangatlah luas. Yaitu mencakup aspek kuantitas, kualitas dan mobilitas dengan persoalan yang sangat kompleks dan memerlukan penanganan secara komprehensif. Di mana jumlah penduduk yang besar dengan pertumbuhan penduduk tinggi, kualitas rendah dan persebaran tidak merata.

Sehingga hal ini langsung disikapi pemerintah dengan membuat UU No 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Guna pengendalian jumlah penduduk dan pembangunan keluarga ini, dibentuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), yang dulunya hanya dikenal sebagai Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.

Pemerintah melalui BKKBN, dihadapkan pada tugas pengendalian kuantitas penduduk dengan tiga prioritas sebagaimana tertera dalam Perpres No 5/2010, yang salah satunya adalah merevitalisasi program KB. Revitalisasi program ini, dijabarkan dengan strategi dan arah kebijakan seperti: (1) pengembangan dan sosialisasi kebijakan pengendalian penduduk yang responsif gender, (2) pembinaan dan peningkatan kemandirian keluarga berencana, (3) promosi dan penggerakan masyarakat, (4) peningkatan dan pemanfaatan sistem informasi manajemen (SIM) berbasis teknologi informasi, (5) pelatihan, penelitian dan pengembangan program kependudukan dan KB, serta (6) peningkatan kualitas manajemen program.

Nah, ketika Pak Gub kita menulis soal Keluarga Berencana di sebuah media, sebenarnya tidak ada yang salah. Dalam kapasitasnya sebagai wakil pemerintah, Pak Gub sedang menjalankan strategi ketiga dari revitalisasi program KB, yaitu Promosi dan Penggerakan Masyarakat.

Pun jika dibaca kembali tulisan beliau, Pak Gub memotret realitas sosial di Sumbar, betapa lebih banyak masyarakat miskin yang tidak tersentuh program ini. Padahal sedianya program KB memang menyasar keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera (KS) I, melalui pelayanan KB gratis di klinik-klinik KB pemerintah. Sementara kalangan menengah ke atas (seperti KS II, KS III dan KS III Plus) sudah memiliki kesadaran personal yang menjadi bagian dari KB Mandiri yang umumnya lebih memilih pelayanan dari dokter-bidan swasta (DBS).

Menumbuhkan kesadaran ber-KB memang susah-susah gampang. Tidak bisa memberi contoh, mengajak pun tak jadi masalah. Yang penting kita tunjukkan bahwa kitapun peduli, seperti Pak Gub kita ini…(*)

Daming

image

TEGANG. Engkau jadikan sebagai sebuah alasan. Demi mencairkan suasana, “tegang” itu pula yang engkau perolok-olokan sebagai sebuah kenikmatan.

Engkau mungkin sering “tegang” dan melepaskan ketegangan itu sesuai tempatnya. Tapi, apa rasanya “tegang”mu itu tidak mendapatkan tempat yang layak. Akankah kau lepaskan urat tegangmu itu ke sembarang tempat, main asal babat dengan keyakinan bahwa yang dibabat pun merasa nikmat?

Ketahuilah, –saya rasa engkau pasti tahu–, di teganglah semua bermula. Seorang jantan melepaskan naluri kebinatangannya, memerkosa. Pun sebenarnya, binatang tak pernah mengenal kata perkosa itu, kendati aktivitasnya penuh paksa seperti tatkala si jantan bertengger di atas ayam betina, misalnya. Tapi, sekali lagi, engkau harus tahu –dan pasti sudah tahu– itu bukan sebuah paksa berupa perkosa. Namun begitulah cara binatang menyalurkan hasrat reproduksinya. Mereka masih setia menjaga prikebinatangannya sebagai binatang.

Ketika manusia, serupa halnya dirimu, diriku, diri kita semua, mencoba perilaku kebinatangan itu, tentu sudah pasti menyalahi kodratnya. Ketika manusia berperikebinatangan, maka sahihlah dia dicap tidak berperikemanusiaan. Ketidakmanusiawian itu salah satunya ada pada paksa yang melahirkan perkosa.

Maka, patut lahir tanya, di mana ada nikmat di balik paksa seperti yang engkau utara di hadapan orang-orang yang menyidang kelayakanmu sebagai calon makhluk agung yang mestinya tidak mendukung kepribinatangan itu.

Tak terbayangkankah oleh mu, korban yang menurutmu merasa nikmat itu, hancur masa depannya, suram hari-harinya, tangisan mewarnai kesehariannya, kepiluan di dada keluarganya, keperihan di hati sanak familinya, kesumat yang membuncah di masyarakat yang berempati kepadanya. Maka kebuasan binatang mana pula yang engkau yakin nikmat rasanya?

Posisikanlah dirimu sebagai korban. Apakah engkau merasa nikmat? Atau bayangkanlah engkau sebagai ayah korban, apakah engkau bersenang hati lantaran anakmu merasakan kenikmatan paksa itu? Atau engkau lebih senang memilih memposisikan diri sebagai pemberi nikmat lewat paksaan itu?

Apakah engkau benar-benar yakin si pemerkosa merasa nikmat? Nikmat mungkin, tetapi sesaat. Demi melepas tegang yang bertenggat, begitu dapat, tegang pun lewat. Setelah itu, jadilah semua nikmat serasa kiamat. Hidup dalam rasa kebersalahan, hari dikepung ketakutan, pikir dibalut penyesalan, hati berselimut kegundahan. Wahai.., dimana letak nikmat?

Tegang mungkin sudah lewat, tapi tidak secair yang kau harap. Mereka sudah bermufakat keagungan untukmu tak layak disemat. Kamipun tak sudi bila engkau tetap selamat dari kualat yang telah kau buat. Maka, apakah engkau menganggap ini juga nikmat? (max)

Cinta Beda, Tapi….

SAYA memang belum (bisa) menonton film Cinta Tapi Beda yang bikin heboh, terutama bagi orang Minangkabau. Sampai-sampai telah pula dilayangkan gugatan kepada Raam Punjabi sebagai produsernya dan Hanung Bramantyo sebagai sutradaranya.

Mungkin catatan dari Fahira Idris ini, bisa menggambarkan betapa patutnya film ini digugat dan diprotes banyak kalangan. Berikut ini catatannya (tepatnya kritikan) Fahira itu saya kutipkan di sini, dan silahkan dianalisa…

#ctb 1. Tadinya saya kira Film CTB hanya menghina #Minangkabau tapi ternyata lebih dari itu..

#ctb 2. Film ini adlh Film Percintaan, salah satu message nya adlh : Menuhankan Cinta, tapi tidak Mencintai Tuhan…

#ctb 3. Banyak sekali Logika2 Dasar yg ditabrak.. Dan sy yakin bukan krn tidak disengaja.. Tapi krn DISENGAJA.. Pesanan !

#ctb 4. Bukan hanya #Minangkabau yg dihina di film ini, tapi juga etnis #Jawa – dan yg paling saya benci adlh Menghina #Islam

#ctb 5. Tidak ada urgensinya memakai #Minangkabau sbg latar belakang cerita yg sudah jelas2 ingin mengusung Pluralisme Yg Kebablasan!!

#ctb 6. Sy tau persis anda bukan orang bodoh! Film ini sangat menghina #Minangkabau dan #Islam !! Porsi hina etnis #Jawa hanya sedikit

#ctb 7. Sy bukan orang yg menolak pluralisme.. Sahabat sy banyak yg non muslim, tapi kami saling menghormati dan menghagai.. Saling SOPAN !

#ctb 8. Setiap hari kita sll mendengar keluhan ibu yg kerepotan menjaga anak2nya agar bisa tumbuh baik, beragama & juga mampu bertoleransi

#ctb 9. Tapi kalau kita semua lengah, anak2 kita bs di doktrin ke ajaran2 yg menyesatkan agama, dijejalkan dg Toleransi2 Pesanan!

#ctb 10. Dg Segala Hormat saya mau minta tolong sahabatku, Uda @iwanpiliang u/ membongkar, siapa yg mendanai film ini.

#ctb 11. Yg tinggal di Padang mmg bukan hanya yg beragama Islam saja, semua agama sampai yg atheis pun ada disana..

#ctb 12. Ngajarin orang/ anak2 bangsa u/ toleran boleh2 saja.. saya pun sll mengajarkan anak saya u/ toleransi.. Toleransi YANG BAIK & BENAR

#ctb 13. Diana Gadis Katolik Padang ini berpacaran dg Cahyo Muslim Jawa..

#ctb 14. Kalau Toleransi yg BAIK dan BENAR, ya harusnya benar2 dicontohkan yg baik dong.. Film ini ngajarin Toleransi yg memaksakan..

#ctb 15. Sangat jomplang perimbangan Toleransi di Film ini.. #Islam banyak di hina.. #Islam dipaksa hrs mengalah.. Diana Katolik yg dominan

#ctb 16. Kalau Diana mmg Gadis Katolik yg Toleran, dia tidak akan menyuruh Cayho memasakkan Babi Rica Rica, masakan keluarga mereka

#ctb 17. Kalau Diana Toleran, pd saat mengundang Cahyo secara Resmi ke rumah, kenapa harus dihidang kan 2 Masakan Babi.. ?????????????????

#ctb 18. Kalau saja saya Katolik, dan saya mau mengundang pacar saya ke rumah secara resmi, saya akan masakkan khusus makanan HALAL !!

#ctb 19. Walaupun tante nya masak juga yg non BABI, dg bilang bhw dimasak secara terpisah, tapi gambaran masak terpisahnya GAK ADA !!

#ctb 20. Pada saat Cahyo mengajak Diana ke Jogja u/ diperkenakan ke Ortu Cahyo, tadinya Diana sdh mau menanggalkan kalung salib nya, tetapi

#ctb 21. Tetapi Cahyo bilang : Gak usah dilepas Kalung Salib nya.. Islam itu Toleran kok.. <<=== Kalau Toleran, Copot dong SALIB nya!!

#ctb 22. Nabi #MuhammadSAW sll mengajarkan umatnya agar hormat kepada Orang Tua, terlebih lagi terhadap Ibu..

#ctb 23. Tapi di Film ini Cahyo seorang anak yg baik tetapi sangat berani terhadap Ibu dan Bapak nya.. Bentak, Marah.. Semua di balik2..

#ctb 24. Jadi mrk mau bilang bhw, kalau kamu punya kemauan, Maki tuh Ibu kamu.. Maki bapak kamu.. gak papa kok.. Islam boleh.. BEGITU ????

#ctb 25. Sorry to say.. tapi Film ini benar2 asli dibuat u/ Merusak Moral Anak Bangsa.. & Merendahkan #Islam !! Film ini sangat BURUK !!

#ctb 26. Saya bukan pmerhati film, bukan pbenci agama lain, tapi saya gak suka bila ada fihak yg lengah meloloskan pembenaran2 yg GAK BENAR

#ctb 27. Saya bukan pembenci pernikahan beda agama.. Bukan Urusan saya, & bukan area pembahasan saya sehari hari pula..

#ctb 28. Semua Agama setau saya melarang pernikahan agama, semua orang tua pasti akan berusaha mencoba u/ meminimalisir terjadinya hal tsb

#ctb 29. Tapi di flim ini message nya jelas, & msupport anak2 bangsa bahwa, sudahlah dobrak saja larangan agamamu. kamu pasti bisa.. GILA

#ctb 30. Tante Diana adlh Muslim menikah dg Om yg Katolik. Om blg : Semoga mereka mau mencontoh kita (nikah beda agama) <– APEUUU..??

#ctb 31. Cukup lah saya ceritakan film ini, bagi yg lain gak perlu lah nonton film ini di bioskop.. Menonton = Menguntungkan Mereka

#ctb 32. Cahyo membentak bapaknya, yg dia nilai menyindir Diana.. Cahyo blg ke Ibu, Harusnya Bapak bisa jadi contoh Toleransi bg kelg..

#ctb 33. Dlm film ini Diana sll mengajak makan Cahyo di rest non muslim, tidak pernah ada gambar Diana makan di rest yg biasa..

#ctb 34. Yg parahnya, pd saat Cahyo menolak makan di rest itu, Diana marah & bentak2, memaksa Cahyo u/ makan menu lain yg non Babi..

#ctb 35. Toleransi seperti itu kah yg kalian maksud?? Tolernsi macam apa itu??

#ctb 36. Pd saat petugas KUA menolak mengawinkan mereka krn beda agama, Diana memaksa Cahyo mengaku beragama Katolik.. Ampun deh..

#ctb 37. Ibu Cahyo nasehatin Bapak Cahyo yg agak keras menolak, bahasa nya sih halus, tapi kalimat nya baru pernah saya dengar.. yaitu :

#ctb 38. RESTU adlh hak nya ANAK.. Orang Tua WAJIB untuk memberikan nya.. <<=== ASLI BARU DENGER MALAM INI.. Ajaran Sesat !!

#ctb 39. Pd saat ada pasangan beda agama mau menikah, petugas KUA menolak, kalau mau kamu nikah ke GEREJA aja.. knp gak ke MESJID opsi nya?

#ctb 40. Kesimpulan nya adlh, film ini sangat2 tidak bagus, mengajarkan Toleransi yg Kebablasan.. Semoga semua pd sadar dan TOBAT

#ctb sekian..

Ngangkang

image

PEMKO Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam mulai memberlakukan aturan dilarang ngangkang ketika dibonceng bagi perempuan setempat. Walau masih bersifat edaran, dalam waktu 3 bulan mendatang akan dijadikan perda.

Sebenarnya tidak ada yang menarik untuk dibahas soal edaran ini. Tapi belum apa-apa di tingkat nasional masalah ini sudah menjadi pergunjingan. Sampai-sampai pak mendagri pun angkat bicara kemungkinan bisa batalnya aturan itu.

Lalu apa yang menarik soal kangkang-mengangkang ini? Pertama, menurut saya, begitu urgenkah peraturan ini dibuat dengan dalih penegakan syariat Islam? Kalau memang iya, seharusnya pemko jangan kepalang tanggung dalam mengeluarkan larangan. Mestinya harus serta merta ada larangan berboncengan dengan non muhrim. Apa mau? Bakal gak laku tukang ojek di sana, wkwkwkwk…

Lalu, kenapa hal-hal seperti ini yang menjadi fokus pemko. Lebih bagus mengurusi masalah kesejahteraan yang bikin senang masyarakat, ketimbang melarang orang mengangkang.

Sebenarnya, mengangkang atau tidak mengangkang, tergantung motornya juga. Umumnya kondisi mengangkang kentara terlihat tatkala si pembonceng duduk di atas moge (motor gede) atau motor matic yang umumnya posisi pijakan kakinya lumayan tinggi dari motor standar. Dan justru posisi paling aman untuk berboncengan adalah posisi mrngangkang ini atau dalam istilahnya forward facing. Karena keseimbangan laju motor bisa lebih terkendali dibanding duduk menyamping.

Nah, pikir-pikirlah lagi. Apa mesti ini dipertahankan sementara banyak yang kontra. Kalaupun dipertahankan, apa tidak mengangkangi pula aturan yang di atasnya… (max)

Imajinasi Lahirkan Penistaan

image

HATI-HATI dengan imajinasi anda. Salah-salah berimajinasi bisa berabe akibatnya.

Tak percaya? Heboh karikatur Nabi Besar Muhammad SAW, sebenarnya bermula dari imajinasi kartunis yang mereka-reka wajah Junjungan Alam itu. Buku Satanic Verse yang menghujat Islam berpangkal dari keliaran imajinasi Salman Rushdie sebagai pengarangnya.

Masih banyak lagi contoh panjang permainan imajinasi ini yang berakibat fatal terhadap pelakunya. Dan ternyata banyak orang tidak menyadari hal ini, sehingga tetap berimajinasi tanpa berpikir panjang dampak dari hasil imajinasi ini.

Satu yang terbaru yang berhasil saya pantau adalah keliaran imajinasi yang dimunculkan seseorang berakun Sudarto Darto di laman facebooknya. Dia terang-terangan menghina sang nabi sebagai nabi berpikiran kacau melalui dialog imajiner yang dipostingnya di akun fb miliknya.

Kendati berdalih itu hanya sebuah dialog imajiner, tak sadarkah ia, seperti yang saya sebutkan sebelumnya, penistaan-penistaan itu lahir dari imajinasi itu sendiri.

Maka saya berkeyakinan, setelah postingan saya ini, akan banyak yang menghujat kelakuan si Darto ini. Dan bahkan, bukan tak mungkin bakal ada reaksi yang lebih reaktif berujung buruk bagi dia. Tak percaya? Mari kita sama-sama berdoa… (max)

Masuak Kampuang, Kalua Kampuang

image

BLUSUKAN. Hari ini semua media menyorot kegiatan blusukan yang dilakukan Presiden SBY secara mendadak ke Tanjung Pasir, Banten.

Blusukan, kata-kata ini mulai akrab di telinga masyarakat  lantaran hobi Gubernur DKI Jokowi yang suka “masuak kampuang kalua kampuang” untuk melihat realitas lapangan, mendengar langsung aspirasi warganya. Dan kegiatan itu selalu menghiasi pemberitaan di media cetak, media online dan media elektronika.

Maka kalau akhirnya SBY ikut-ikutan berblusukan ria, jangan heran bila sejumlah media langsung memvonis si bapak telah meniru Jokowi. Salahkah?

Tak ada yang salah bila SBY ikut-ikutan masuak kampuang kalua kampuang seperti Jokowi. Malah memang sudah seharusnya seorang pemimpin itu lebih banyak berada di lapangan ketimbang berada di belakang meja. Karena tidak semua laporan yang ada di atas meja itu sama persis dengan kondisi riil lapangan.

Dengan berada langsung di tengah warga, mendengar beragam keluhan, merasai langsung kesusahan dan penderitaan, membaui aroma keseharian, menikmati keapa-adaan, maka si pemimpin akan lebih bijak mengambil kebijakan, daripada sekadar hanya disodorkan laporan yang lebih banyak baik daripada buruknya.

Membandingkan blusukan ala SBY dengan Jokowi tentu tak bisa disamakan begitu saja. Jokowi bisa begitu lepas dan dekat dengan masyarakat yang didatanginya, wajar. Karena dia tidak ada pengawalan “paspamgub”. SBY tak bisa lepas dan masih sedikit terasa ada sekat, ya juga wajar. Karena ada paspamres yang begitu lekat dan ketat mengamati orang-orang yang mendekat.

Saya yakin, kalau nanti Jokowi di posisi SBY, dia tentu takkan bisa lepas dalam kawalan paspampres. Karena memang begitulah aturan protokolernya.

Saya pun sangat yakin, SBY akan bikin repot bila sering ke lapangan, walaupun secara pribadi dia tak mau merepotkan. Dan repotnya lagi, SBY-nya sendiri yang bakal kerepotan. Lho kok? Ya iya, kalau memang dia emang niat banget memperbanyak blusukan sepanjang 2013-2014, dijamin bakal keteteran menyinggahi pelosok-pelosok Indonesia yang begitu luas. Kan gak lucu kalau SBY cuma blusukan di Pulau Jawa saja. Emangnya SBY itu Presiden Jawa?

Dan sesuatu yang harus jeli dilihat adalah ada Ani di samping SBY ketika blusukan. Apakah ada Iriana ketika Jokowi malala keliling Jakarta? Saya yakin sebentar lagi bakal ada komentar-komentar komentator yang menyebut blusukan ini sebagai politik pencitraan. Pencitraan Ani untuk maju jadi capres 2014 nanti. Suatu hal yang tak mustahil bukan? (max)

Minangkabau Dihina

APA yang lagi hot di Facebook? Selain fans page yang berisi foto hot, ternyata ada yang lebih panas dan bikin darah mendidih bagi sebagian banyak orang, terutama masyarakat Minang.

Apa pasal? Telah terjadi penghinaan, atau tepatnya penistaan terhadap adat Minangkabau, khususnya terhadap orang Minang.

Dinistakan bagaimana? Bayangkan saja sendiri, masak orang Minang dibilang anak zina!

Walahhhh..!!! Siapa bilang? Ada sekelompok orang yang dimotori Afnorizal Abukasim dan kawan-kawan “seideologinya” menyoal soal sistem matrilineal yang berlaku di ranah Minang.

Apa kata dia? Dia bilang tidak ada dalam Islam seseorang itu mengikuti garis keturunan ibunya, yang ada ikut garis keturunan bapaknya. Anak hasil zinalah yang ikut garis keturunan ibunya…

Hah??? Gak percaya baca aja ini : DOKUMEN_PENGHINAAN_TERHADAP_MINANGKABAU

Lalu menurutmu bagaimana? Kalau menurut saya “gila tuh orang”… mana bisa seenaknya ditarik kesimpulan seperti itu.. Apa dia gak pernah tahu, bapak-ibunya yang orang Minang pasti melakukan akad nikah di hadapan penghulu!!! Antah kok indak…!!! Hahahaha…..

« Older entries