Beasiswa S2, Sebuah Impian yang Makin Nyata

maxCatatan: Tulisan ini ditulis medio tahun 2013. Filenya baru ketemu hari ini, setelah utak-atik kompie kantor. Tulisan ini adalah salah satu syarat wajib yang diserahkan kepada pihak Magister Ilmu Komunikasi Universitas Andalas, untuk mengetahui apa alasan saya (secara tertulis) mendaftar di prodi tersebut. FYI, saya menamatkan kuliah ini pada 17 Juni 2015 silam. So, tulisan ini jadul sekali, semoga tetap menginspirasi…

*********

 

“Kesempatan datang bagai awan berlalu. Pergunakanlah  ketika ia nampak di hadapanmu.” [Ali bin Abi Thalib]

                 QUOTE di atas cocok sekali dengan apa yang saya alami. Kesempatan untuk ikut beasiswa S2 ini, adalah kali kedua saya mendapatkannya. Dulu, tahun 2002 lalu, saya sebenarnya nyaris saja tercatat sebagai mahasiswa pascasarjana Universitas Andalas untuk magister hukum. Tapi nasib menentukan lain, mungkin bukan takdir saya untuk menggeluti bidang hukum.

Kala itu, Pemprov Riau menyediakan beasiswa bagi putra daerah yang ingin melanjutkan pendidikan S1 ke S2 untuk seluruh jurusan. Berbekal impian untuk mendaki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, saya mencoba untuk ikut seleksi beasiswa. Pilihan pertama saya adalah Prodi Ilmu Lingkungan. Mengandalkan  sedikit pengetahuan soal lingkungan yang saya dapat sebagai peliput tetap masalah Amdal di Bapedalda Sumbar, saya melamar ke Unand.

Setelah semua berkas didapat dari staf administrasi Ilmu Lingkungan ini, saya langsung menghadap ke Ketua Prodinya, Dr Ardenis Arbain. Begitu tahu latar belakang pendidikan saya adalah Sosiologi, bukan dari eksakta yang jadi persyaratan penerimaan calon mahasiswanya, Ardenis langsung menolak keinginan saya. Katanya, “Ilmu Lingkungan hanya diperuntukkan untuk alumni eksakta, bukan non eksakta.”

Saya langsung membantah. “Setahu saya, setiap persoalan lingkungan selalu membutuhkan kajian dampak sosial. Dan kajian yang paling penting dalam pembahasan Amdal adalah masalah sosial ini, karena manusialah yang akan merasakan dampaknya. Dan itu sesuai sekali dengan latar belakang sosiologi saya.”

“Anda betul,” katanya. “Tapi, kami belum membuka program studi ini untuk anak-anak (alumni S1-red) sosial. Kami masih fokus kepada eksakta. Karena yang akan dipelajari itu tentang pencemaran, kandungan BOD, COD, dan sebagainya. Kalau memang anda berminat betul, silahkan mendaftar di UNP saja. Di sana memang tersedia untuk non eksakta,” sarannya.

Pupus sudah harapan saya. Lantaran Universitas Negeri Padang (UNP) tidak masuk dalam kategori kampus sasaran yang akan dibiayai dengan dana APBD Provinsi Riau. Untuk Sumbar, hanya “bersekolah” di Unand yang bakal ditanggung Pemprov Riau.

Tapi, itu tidak membikin saya mati langkah. Bukan tipikal saya untuk menyerah sebelum berperang.  Kesempatan masih ada. Saya lantas memutar haluan untuk melamar ke prodi ilmu hukum. Dari sekian puluh pendaftar, hanya 30 calon mahasiswa yang akan diterima. Itu artinya, saya harus bersaing dengan para sarjana hukum yang sudah menjadi praktisi sebagai hakim, jaksa, polisi, dan pengacara. Tak ada salahnya untuk mencoba bukan?

Dengan ilmu hukum yang hanya secuil saya dapatkan dari mata kuliah Sosiologi Hukum dan Kriminologi ketika kuliah dulu, saya pun ikut tes. Hasilnya…., dari sekitar 50-an peserta, saya berada di peringkat 38. Gugurlah kesempatan saya. Tapi saya tetap bangga. Karena, masih ada peserta nomor 39, 40, 41 dan seterusnya yang saya “kalahkan” dengan asumsi mereka pastilah praktisi-praktisi hukum bernasib naas yang ditebas “pisau” ujian seperti halnya saya. Tapi saya (merasa) menang, karena saya kalah lantaran bukanlah sebagai orang berlatar belakang ilmu hukum seperti mereka.

Untuk sementara, lembaran impian menyandang titel magister di belakang nama, saya tutup dulu. Sebenarnya bisa saja saya memaksakan untuk mendapatkan itu, tapi konsekuensinya harus menguras kantong pribadi guna membiayai kuliah yang anggarannya mencapai puluhan juta. Manalah saya punya uang. Bekerja masih serabutan sebagai wartawan, orang tua tidak pula hartawan, biarlah impian itu mengawang-awang di awan.

***

“Sebagian orang mengatakan kesempatan hanya datang satu kali. Itu tidak benar. Kesempatan itu selalu datang, tetapi anda harus siap menanggapinya.”           [Louis L’amour, Novelis Amerika]

Kesempatan itu datang lagi. Saatnya menjemput impian yang mengawang-awang di awan. Kementerian Komunikasi dan Informasi RI (Kemen Kominfo) memberi kesempatan kepada pegawai negeri sipil (PNS) untuk menimba ilmu di bidang komunikasi di jenjang pendidikan magister. Bekerjasama dengan Universitas Andalas (salah satunya dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia-red), disediakan “uang negara untuk bersekolah”.

Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Begitulah…, hingga akhirnya saya mendaftarkan diri dan membuat tulisan soal proyeksi untuk ikut program ini.  Berbeda dengan pilihan program studi yang saya pilih 11 tahun lalu, ilmu komunikasi ini bagaikan pinang pulang ke tampuknya.

Pernah menjadi wartawan yang tak lagi serabutan pasca ikut program S2 yang gagal dulu, mungkin inilah kesempatan yang dibentangkan Allah setelah kegagalan itu. Diskenariokannya hidup saya untuk menjadi praktisi bidang komunikasi sebagai pekerja media dari rentang waktu 2002 hingga 2009. Mulai dari jadi reporter, asisten redaktur, redaktur, koordinator liputan, redaktur pelaksana hingga menjadi wapempred di Posmetro Padang selama rentang waktu itu. Dan pernah pula sebagai pemred yang merintis berdirinya portal berita www.padang-today.com, Allah begitu detail menyusun skenarionya.

Puncak dari alur yang telah diatur-Nya, saya akhirnya diberi kesempatan untuk menjadi PNS, setelah dianggap cukup berkecimpung di media. Saatnya mengabdi di ladang yang berbeda sebagai abdi negara. Dulu mengkritik, sekarang harus siap dikritik. Minimal melakukan otokritik untuk diri sendiri, bahwa hidup harus dijalani dan diberi arti.

Resmi menjadi CPNS pada tahun 2010 dan diangkat di 2011, status saya sebagai mantan wartawan ternyata tak begitu saja hilang. Walau bekerja sebagai penyuluh keluarga berencana (PKB) pada Kantor Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Padang Panjang, saya berkali-kali diminta atasan untuk mendokumentasikan kegiatan kantor sebagai fotografer, membuat rilis kegiatan ke media, bahkan “menghadapi” wartawan jadi-jadian yang membikin susah Sang Kepala. Itu tidak mudah, butuh kemampuan public relation yang mumpuni untuk berhadapan dengan wartawan semacam itu. Dan saya sadari, belum mempunyai kemampuan ke arah itu.

Di samping itu, di tengah “keasyikan” saya menjalani profesi baru sebagai penyuluh keluarga berencana yang (ternyata) sangat menyenangkan, saya diam-diam akan ditarik ke Bagian Humas Pemko Padang Panjang, dengan alasan saya pernah jadi wartawan. Saya menolak, karena –kembali saya sadari– saya belum punya kemampuan public relation untuk bekerja di Bagian Humas. Karena, jelas berbeda ketika menjadi praktisi media yang biasa dilayani Humas, dengan menjadi Humas yang harus melayani pekerja media. Terus terang, saya belum punya ilmu itu.

Dan, sekarang “ilmu” yang saya tidak punya itu, dibentangkan melalui program beasiswa ini. Menjadi public relation yang mampu menjembatani antara publik dengan organisasi tertentu, sehingga akan tercipta saling pengertian dan akan menimbulkan hubungan yang baik dan kepercayaan dari publik terhadap organisasi atau lembaga tersebut, demikian disebutkan salah satu tujuan adanya program ilmu komunikasi ini seperti tertera dalam brosurnya.

Dan itulah kesempatan itu. Karena, sebagai PNS tidak akan mungkin selamanya saya menjadi PKB. Dipastikan bakal “menikmati” mutasi sebagaimana biasa dialami PNS lainnya. Salah satu kemungkinannya, pasti suatu saat akan merasakan bekerja di Bagian Humas, –sekali lagi– karena alasan pernah jadi wartawan. Bukankah qadarullah wa man saa faala? Siapa pernah tahu Allah sudah menyiapkan skenario berikutnya?

Pun kalau tidak, semisalnya saya tetap bertahan sebagai PKB dalam waktu lama, ilmu komunikasi ini tetap penting. Karena berjalannya program KB tertumpang sepenuhnya kepada kesuksesan pelaksanaan KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) kepada masyarakat. Dituntut sebuah kemampuan (meminjam kalimat dari brosur) untuk meningkatkan pelayanan secara profesional. Tak mungkin bisa menjadi profesional bila tidak ditopang dengan pengetahuan yang sesuai dengan kegiatan yang kita geluti.

Berhadapan dengan masyarakat, kader, calon akseptor dan stake holder yang berkepentingan dengan suksesnya program KB, jelas butuh kemampuan berkomunikasi itu. Berkomunikasi bukan hanya soal pandai bicara, tapi dibutuhkan lebih dari itu. Dibutuhkan kemampuan paripurna, harus mengerti psikologi massa, harus tahu komunikasi dan perubahan sosial, mesti pandai lobi dan negosiasi, dan tentu saja kudu paham dengan komunikasi antar budaya, serta manajemen komunikasi krisis.

Semua itu, sudah “disiapkan” dalam rangkaian mata kuliah sebanyak 38 SKS di program magister ilmu komunikasi ini.

Maka tidak ada alasan lagi bagi saya untuk mengabaikan kesempatan ini. Karena seperti dikatakan Louis L’Amour, kesempatan itu selalu datang. Tapi, tidak selalu pernah sama setiap satu kesempatan dengan kesempatan lainnya. Sekaranglah saatnya.

Sekaranglah saatnya bagi saya untuk mewujudkan impian itu. Sekaranglah saatnya untuk saya menunjukkan bahwa saya bisa untuk benar-benar serius kuliah lagi. Karena saya sadari sepenuhnya, ketika kuliah S1 dulu, saya terlalu disibukkan dengan kegiatan kemahasiswaan sebagai anggota Mapala Unand, sehingga kuliah “terabaikan” yang berbuah dengan Indeks Prestasi yang hanya mencapai angka 2,92 saja. Saya yakin bila saya serius –untuk kesempatan yang datang kali ini–  “rekor” itu bisa saya pecahkan. Man jadda wajada, begitu kata Ahmad Fuadi dalam novel Negeri Lima Menara-nya. Siapa yang bersungguh-sungguh, dia akan berhasil. Insya Allah.

Sekaranglah saatnya, tidak hanya mewujudkan impian saya semata, juga mewujudkan keinginan almarhum abak saya yang baru berpulang pada 18 April 2013 lalu. “Bialah abak indak tamat SD, tapi waang (jo adiak-adiak) harus basikolah labiah tinggi dari abak!” Insya Allah… (***)

 

 

 

Tinggalkan komentar