Ketika Gempa itu Datang

TermanguBUNYI kecipak air dari dalam baskom biru itu, mengiringi mandi sore Queena Balqis Apkamadi. Jarum jam menunjukkan hampir 15 menit berlalu dari pukul 17.00 WIB. Bayi montok yang lahir 22 Juni 2009 lalu itu, sebenarnya terlambat dimandikan bundanya.

Diiringi canda sang kakak Valdisya Azzahra Apkamadi (4), Queena tersenyum-senyum geli, ketika bundanya mengusap, menggosok dan menyabuni badannya. Usai itu, kepalanya yang tidak terlalu subur ditumbuhi rambut, mulai diberi shampoo.

Tiba-tiba rumah bergetar. Semakin bergemuruh. Tanpa pikir panjang, sang bunda langsung melarikan Queena dalam kondisi kepala ber-shampoo, telanjang dan masih basah. Queena dibawa lari dalam gendongan dengan satu tangan. Tangannya satu lagi menggenggam Disya.

Ruang-tengahDi luar rumah, bumi masih bergoncang. Terdengar isi perabot berjatuhan, pagar roboh. Suara berdebum sempat memekakkan telinga tatkala plafon lantai II rontok dan jatuh menimpa besi pagar. Suasana tambah panik. Sejumlah rumah tetangga sudah ada pula bagiannya yang roboh. Tangisan tak tertahan. Ketakutan mencekam. Tsunami mengancam. Sudahlah begitu, suami tak pula di rumah lantaran sudah ngantor setengah jam sebelumnya.

Dalam suasana panik, semuanya terlupakan. Lupa dengan kondisi bayi yang masih ber-shampoo dan telanjang, lupa dengan jilbab yang seharusnya terpasang, lupa dengan rumah yang harusnya dikunci dulu sebelum ditinggal. Kaki dilangkahkan dengan gegas. Beriring-iringan dengan tetangga, menembus jalan kecil yang tiba-tiba tumpah disesaki orang dan kendaraan. Tujuannya entah ke mana. Yang penting ada tempat aman untuk sekadar berlindung dari kemungkinan amuk laut yang melontarkan gelombang.

Dengan kondisi begitu, ditambah hari yang mulai menggulita, kaki tak bisa jauh dilangkahkan. Akhirnya tertahan di rumah tetangga yang berada di Jalan Asra, Tunggul Hitam yang hanya berjarak 800 m dari rumah. Ajakan untuk bertahan di sana, ditambah melihat kondisi anak tak berbaju, menjadi alasan untuk mengakhiri perjalanan.

Sementara itu, nun 12 km dari rumah, di sebuah kantor berlantai III, saya harus ketar-ketir.  Badan memang terselamatkan dari lontaran material dinding kantor. Karena saat itu, usai memimpin rapat sekitar jam 17.15 WIB, saya sudah berada di lantai I untuk pergi menepati janji  membayar angsuran laptop yang kelewat tenggat. Laptop-nya sendiri, ditinggal di atas meja lantai III.

Tiba-tiba goncangan itu menghentak. Saya tercekat. Bibir memekikkan takbir Allahu Akbar berulang kali, sembari tetap berlari menuju halaman parkir kantor. Goncangan semakin menguat. Ruas Jalan Proklamasi sontak dipadati banyak orang yang berhasil keluar dari rumah, kantor, maupun yang kebetulan berada di atas kendaraannya. Semua wajah pucat pasi membiaskan takut. Panik meraja. Goncangan itu telah menyulap suasana rutin yang biasanya diisi dengan berbagai kesibukan orang, menjadi rasa takut yang mencekam.

Puing-ituSejumlah bangunan runtuh. Debu hitam beterbangan. Asap membubung dari sejumlah kebakaran. Lalulintas mulai tak beraturan, karena kendaraan tingkah bertingkah dengan kerumunan orang di atas badan jalan.

Saya mencoba mengontak bunda anak-anak. Nomor GSM-nya tak tersambung, ke telepon rumah pun tidak. Berkali-kali upaya itu saya coba. Tetap gagal. Dan terus saya coba, walau saya sadar itu akan tetap sia-sia. Ketakutan itu menjalar di relung hati terdalam. Takut kehilangan mereka. Cemas dengan keselamatan mereka. Menyesal tidak bersama mereka disaat mereka begitu butuh sosok yang harusnya meredakan cemas, takut, raungan tangis mereka.

Goncangan yang kuat, meyakinkan saya bahwa ini bisa berpotensi tsunami. Ada rentang 20-30 menit untuk bisa menyelamatkan diri. Artinya, masih ada kesempatan 15 menit untuk pulang menuju rumah —yang bila ditarik garis lurus berada 1,5 km dari bibir pantai itu. Belajar kepada pengalaman gempa besar yang sudah-sudah, saya tidak mungkin lari ke barat kota yang dipastikan macet total lantaran semua orang sedang berduyun-duyun menyelamatkan diri ke timur kota, tempat ketinggian yang dianggap lebih aman dari jangkauan hempasan gelombang besar.

Sebelum terlambat, saya memilih untuk menuju timur juga, dengan harapan macet belum menghadang. Rencana saya, dengan arah itu, saya akan sampai di By Pass lalu bergerak ke utara menembus Siteba untuk kemudian terus menuju rumah di Tunggul Hitam.

Rencana tinggal rencana. Jalanan sudah mulai macet. Laju motor saya sudah mulai tertahan di bilangan Jalan Sisingamangaraja yang hanya berjarak 1 km dari kantor. Asap membubung di sana, di sebelah SD Kartika yang murid-muridnya sudah tumpah ruah dan berebut naik ke kendaraan orang tuanya yang sempat menjemput. Api diabaikan warga.

Laju Mio saya, saya arahkan ke Simpang Haru. Masya Allah, deretan ruko baru di utara Pasar Simpang Haru telah rebah, rata dengan tanah. Air mata saya menitik. Hanya harap menggelayap di dada, agar hal serupa tidak terjadi di rumah. Di atas motor, saya kembali mencoba menghubungi wanita yang saya cintai itu. Masih tetap tak tersambung. Ke telepon rumah, sempat terhubung. Tapi tak ada yang mengangkat. Saya semakin linglung.

Kemacetan makin meraja. Jalan-jalan biasa yang tak pernah saya lalui, kini saya retas demi menembus By Pass. Sepanjang perjalanan, kedukaan sudah meruyak. Ada yang menangis, ada yang meraung, ada yang merintih. Semuanya berpacu dalam gerak mencari selamat.

Butuh 45 menit bagi saya menembus By Pass. Ketika saya tiba, macet belum menyergap di sana. Saya menggeber motor untuk secepatnya sampai di Siteba. Tapi apa daya, dalam bilangan menit, By Pass itu akhirnya tumpah ruah juga. Laju motor tak mungkin dipaksakan.

Limit waktu akhir kemungkinan datangnya tsunami sudah semakin dekat. Pilihan satu-satunya, saya harus menepi. Di halaman parkir Badan Pengendalian Bencana Daerah (BPPD) Kota Padang yang ada di By Pass Pisang, saya melabuhkan cemas itu. Bertenang, seraya mencari tahu besaran skala gempa dan kemungkinan adanya tsunami dengan bertanya kepada petugas yang ternyata juga panik tak menentu.

“7.6 SR. Di 0.84 LS – 99.65 BT,” kata seorag petugas menyebut angka-angka yang seakan dengan mudah dihapalnya. Ah.., saya tak butuh angka-angka lintang dan bujur itu. Saya butuh episentrumnya, dan potensi tsunaminya.

Berbilang menit kemudian, didapat info lokasi 57 km barat daya Pariaman. “Tidak ada tsunami!,” kata Kepala BPPD Dedi Henidal.

Saya lega. Setidaknya, keluarga di Tunggul Hitam selamat dari hantaman gelombang besar laut yang pernah meluluhlantakkan Aceh pada 26 Desember 2004 silam. Tapi saya belum betul-betul lega. Karena keberadaan mereka belum terkomunikasikan sama sekali. Apakah selamat, atau malah terkubur di reruntuhan rumah seperti yang saya lihat selama dalam perjalanan tadi. Semoga tidak, hanya itu harapan yang ada di dada.

Tidak semua orang tahu bahwa gempa itu tidak memicu tsunami. Buktinya, mereka tetap menyesaki jalan demi lari ke tempat yang tinggi. Saya lebih memilih beristirahat sejenak di BPPD, sembari melepas pandangan ke jalan yang sudah crowded.

Lantai-IIUsai menunaikan shalat maghrib di BPPD, saya menguatkan diri untuk segera pulang. Terlebih lalulintas di depan kantor badan itu sudah mulai menyusut. Tapi saya kecele. Jebakan macet paling ganas justru terjadi di By Pass Katapiang menuju kampus Unand. Di sini saya terhalang. Seluruh kendaraan cuma bisa beringsut. Lalulintas kacau. Malam semakin pekat. Hanya diterangi lampu kendaraan. Sementara listrik padam total.

Akhirnya setelah terkurung 2 jam di By Pass, pukul 21.00 WIB saya sampai juga di rumah. Artinya butuh 4 jam sampai di rumah yang biasanya cuma memakan waktu 15 menit itu. Saya terkesiap, begitu sorot lampu motor diarahkan ke rumah. Pagar roboh. Atap plafon lantai II sudah ambruk, beberapa dinding retak.

“Ah tak apa.., yang penting tidak runtuh. Dan alhamdulillah, semua keluarga selamat,” ucap saya dalam hati.

Betapa senangnya hati, melihat mereka tak kekurangan apapun dalam pengungsiannya di rumah tetangga. Sementara sedih tetap menggelayut, begitu tahu sebagian Padang sudah luluhlantak yang diinformasikan dari mulut ke mulut oleh masyarakat.

Sekali lagi, negeri ini harus menangis atas musibah tak terduga itu. Semoga kami semua tetap tabah dan sabar menjalani kehendakNya ini. Aminnn. (max)

13 Komentar

  1. mayasari said,

    5 Oktober 2009 pada 3:56 pm

    alhamdulillah keluarga selamat…….

  2. meiy said,

    5 Oktober 2009 pada 4:23 pm

    manitiak aia mato mambaconyo max..alhamdulillah lai selamat kel, itu yg penting.

    uni alah pernah berada dlm kondisi yg bahkan lebih mengerikan, aceh 26 dec 2004, tp kesedihan bagi mrk yg kehilangan itu sama saja beratnya…

  3. richocean said,

    5 Oktober 2009 pada 4:35 pm

    semoga yg masih hidup diberi kemudahan, ketabahan, kesabaran, dan keimanan

    semoga yg meninggal diberi kemudahan di alam kubur …

    amin 7x ….

    silahkan ke blog saya richocean Richocean tentang
    2009 3009 ANGKA Gempa PADANG PARIAMAN. 2009 1010 ANGKA Gempa Tsunami ACEH?
    2009 0110 Pagi ini Gempa Bengkulu dan Jambi Menyusul Gempa Padang
    Selama 17 jam, 3x Gempa PADANG Sumatra Barat
    Gempa Sumatra Barat Tiap Bulan 666 Gempa 40 Tahun

    atau blog saya lainnya
    Richmountain

    salam …

  4. Sutan Djambak said,

    5 Oktober 2009 pada 8:25 pm

    Manitiak aia mato mambaconyo, Boss…Luar biasa, betul2 mendalam dan deskriptifnya kuat…Membaca tulisan ini, seolah-olah saya merasa di tengah kejadian…Syukurlah keluarganya selamat

  5. rifkadejavu said,

    6 Oktober 2009 pada 8:59 am

    Semua org di Sumbar menderita, Satkorlak,PMI dan lembaga lainnya hanya bisa assesment…..distribusi belum dijalankan….masyarakat tidak membutuhkan data, tapi bantuan…..

  6. bundabandel said,

    6 Oktober 2009 pada 2:58 pm

    Semoga korban2 cepat mendapatkan pertolongan…kami hanya bisa berdo’a dari jauh…

  7. Pane said,

    7 Oktober 2009 pada 10:45 am

    Pas dapek kaba gampo terjadi, yang partamo ambo buka blog bang max…cuma sampai tanggal 4 Okt, masih artikel trakhir tentang Idul Fitri…brarti jaringan mati totl..ambo manunggu..akhirnya ado juo kaba dari bang max…Alhamdulillah…
    Salam

  8. yulia said,

    12 Oktober 2009 pada 11:41 am

    goncangan itu kembali membayang disaat membaca tulisan ini da..PUSING…

    Alhamdulillah uni n anak2 selamat. jika da max dpt info dari BPPD, bahwasanya tak ada potensi tsunami, maka kami warga Lapai, khususnya RT di rumah dapat kbr dari semarang melalui telp rumah, jauh sangat tuk mendapatkan informasi…barulah kami merasa tenang, coz daerah kami hanya berjarak 10M dari jembatan Minang Plaza..

    semoga warga sumbar n padang khususnya bisa kembali bangkit…

    JANGAN MENYERAH…

  9. akikita said,

    15 Oktober 2009 pada 9:14 am

    Sukurlah keluarga selamat, semoga yang sudah mendahului kita mendapatkan tempat yang baik disini Allah.

    disinilah beruntungnya orang2 beriman dia akan ingat kata Allah dlm Quran: “Sesungguh kami akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kehilang harta benda bahkn nyawa serta bahan makanan, maka beri kabargembilah orang2 yang sabar”

    Yaitu mereka apabila ditimpa musibah akan berkata: Sesungguh kami datang dari Allah dan akan kembali kepadaNya. (al Baqarah)

    Allahumma tahrimna ajrahum walatudillana ba’dahum waghfirlana walahum, amiiiin.

  10. udin said,

    23 Oktober 2009 pada 8:46 pm

    UNTUK kesekian kalinya, pernyataan yang menyiratkan “nada kesombongan” dilontarkan Walikota Padang, Drs H Fauzi Bahar MSi. Katanya, Kota Padang siap menghadapi tsunami.

    Pernyataan penuh keoptimisan itu, dilontarkannya tidak sekali dua kali, tapi berkali-kali. Tidak hanya di Kota Padang diumbar, di Jakarta bahkan di Kota Bonn Jerman pun, kalimat yang sama mengalir dari bibirnya yang dihiasi kumis itu.

    Terakhir, kalimat itu disampaikannya dalam Lokakarya Nasional VIII Program Mitra Bahari dan Workshop serta TOT (Training of Trainer) Mitigasi Bencana dan Pencemaran Lingkungan di Hotel Nam Center Jakarta, Rabu lalu (17/5). Apa yang disampaikannya itu, lantas menjadi bahan pemberitaan sejumlah media lokal yang sumbernya berasal dari rilis Humas Pemko Padang yang diikutsertakan dalam lokakarya tersebut.

  11. udin said,

    23 Oktober 2009 pada 8:47 pm

    Walikota yang Takabur

    • max said,

      24 Oktober 2009 pada 12:48 am

      hahahaha, akhirnya anda menemukan fakta itu… dan ternyata, kesiapan itu bohong belaka. Karena infrastruktur, kesiapan mental warga, sarana penunjang dan kinerja aparat pemerintahan belum siap ke arah PERNYATAAN SIAP tersebut

      • JUJUR said,

        24 Oktober 2009 pada 9:08 pm

        Da, memang itu FAUZI BAHAR Byk gadang otanyo. Ntah baa bisa manang Pilkada , sedang yg golput byk . byk urang awak nan intelek tidak akan milih inyo. Yang ado dipikiranyo PAdang Bay City, baa ka caro masuk pitih utk inyo. Rakyat disuruah sajo zikir, jalur evakuasi ndak disiapkan dan sarana lainnya. Manusia berusaha ASWT yg menentukan . kan harus ado usaho utk itu


Tinggalkan Balasan ke rifkadejavu Batalkan balasan