“Iko Halal Mah…Manga Dibongka!!!”

ADemikian teriakan lantang Apriyeni (40). Dia terus menjerit, meraung, mencaci maki petugas. Air matanya mulai menganak di pelupuk matanya.

Manga iko nan kalian (Pol PP-red) bongka. Iko halal. Masih banyak tampek haram nan patuik kalian bongka (Mengapa (kedai) ini yang kalian bongkar. Ini (usaha) halal. Masih banyak tempat (usaha) haram yang patut dibongkar),” lontarnya dengan nada emosi. Sementara sejumlah anak yang berada di sisinya terus menangis tersedu-sedan. Semakin keras Apriyenni menjerit, semakin keras pula tangisan anak-anak itu.

Calieklah… Ndak ibo kalian jo anak-anak ko? Jo a nyo ka makan? Jo a nyo ka basikolah? (Lihatlah… Tidakkah kalian kasihan dengan anak-anak ini? Akan makan apa mereka? Bagaimana sekolah mereka?),” terus saja dia mengeluarkan kata-kata yang dianggapnya bisa meluluhkan petugas Pol PP untuk tidak melanjutkan pembongkaran.

Tapi apa daya, jeritnya itu tak berguna. Warung nasi yang baru bertumbuh setahun belakangan ini, terus dibongkar satu persatu. Merek dagangnya “Lapau Nasi Spesial Ikan Bakar” sudah mulai dikenal orang. Bahkan sudah ada dua cabang pula yang buka di Jalan Khatib Sulaiman dan kawasan GOR Agus Salim dengan kepemilikan yang berbeda dengan merek yang sama.

Ketika isak tangisnya mereda, Apriyeni mulai melunak ketika didekati. Berceritalah dia bagaimana usaha kecil-kecilan itu bisa dibangun adiknya yang bernama Ridwan (37). “Di siko, anak-anak bujang atau nan alah babini bakarajo. Jo a urang-urang tu ka makan? Jo a nyo ka maiduik i keluarganyo? Jo anak ka disakolahan? (Di sini para pemuda dan yang sudah berkeluarga bekerja. Akan makan apa mereka nanti? Bagaimana mereka akan menghidupi keluarganya? Bagaimana mereka akan menyekolahkan anaknya?,” tukas kakak kandung Ridwan itu.

Baa kok nan di siko se dibongka. Banyak nan lain lai mah (mengapa warung ini saja yang dibongkar? Masih banyak yang lain yang patut dibongkar),” tambahnya.

Jauh sebelum warung nasi seukuran 2 x 5 m itu berdiri, ceritanya, lokasi yang ditempati tersebut masih samak (belukar). Kosong melompong. Di situlah berdiri kedai nasi yang menjadi cikal bakal berkembangnya usaha yang sama, salah satunya cabang GOR Agus Salim yang dikelola Apriyeni.

Indak ado peraturan nan kami langga doh. Indak ado urang tagaduah doh. Lalu lalang oto jo onda lai lancar-lancar senyo. A juo alasannyo lai? (Tak ada peraturan yang kami langgar. Tak ada orang yang terganggu. Lalu lalang kendaraan tetap lancar. Apalagi alasan pembongkaran ini?)” tanya wanita yang wajahnya masih memerah karena emosi tersebut. (max)

_________________

BLapau Nasi Ikan Bakar Transito Dibongkar

Karyawan, kakak, adik, istri, anak, sumando dan silang nan bapangka pemilik Lapau Nasi Transito marabo. Caru-marut meluncur dari mulut mereka mengiringi aksi main bongkar yang dilakukan Pol PP Padang terhadap warung nasi spesifik ikan nila bakar itu. Suasana ribut, jerit tangis, caci maki menjadi warna peristiwa penggusuran yang berlangsung sekitar pukul 09.30 WIB, Senin (22/12) tersebut.

Sekitar 50 personil Pol PP yang dikomandoi langsung Kepalanya Drs Dedi Henidal sibuk membongkar satu persatu papan bangunan kedai itu, Mulai dari alas lapak, tiang, dinding hingga ke sengnya. Sementara karyawan dan keluarga rumah makan ampera “super sederhana” itu sibuk mengevakuasi peralatan dan perlengkapannya berjualan. Piring, sendok, gelas, tenong, cambuang, kompor dan sebagainya diangsur ke bagian belakang bangunan yang berdiri di samping Wisma Transito Jalan Hiu, Ulakkarang.

Bersenjatakan linggis, palu, dan alat pembongkar lainnya, termasuk tangan kosong dan tendangan sepatu lars, personil penegak Perda itu tetap acuh mendengar semprotan caci maki sembari tetap bekerja sesuai komando atasannya. Sesekali kerja mereka mendapat halangan dari kukuhnya keluarga dan karyawan pemilik warung nasi yang tidak rela “pariuak barehnya” dibongkar paksa petugas. Pol PP tak bergeming, mereka akhirnya berinisiatif membongkar sendiri dalam kondisi emosi kadang tak terkendali.

Bialah kami bongka… Jan sato lo kalian lai (Pol PP-red),” teriak seorang karyawan yang merasa tak senang dengan pola pembongkaran ala Pol PP.

Sementara itu, Apriyeni (40) manciracau dengan suara lantang. Anak-anak menangis. Tetangga pun turut serta meraung. Yang hiba hanya bisa diam terpekur. Petugas tak ambil peduli. Mereka tetap bekerja walau terus mendapat tentangan. Benar-benar tidak tertib. Macet pun meningkahi aksi penertiban ini.

Nyaris saja terjadi baku hantam. Karena Pol PP tetap bersikeras “menolong” membongkar di saat para karyawan tengah sibuk membongkar sendiri bangunan itu. Tak cukup begitu, tempurung kelapa yang biasanya dipakai buat membakar ikan nila yang sedianya bakal dihidangkan kepada para pembeli, melayang ke atas seng saat petugas berupaya membongkar lembaran seng.

Suasana galeboh itu terus berlanjut hingga 1,5 jam. Warga terus memadati lokasi untuk mencari tahu gerangan apa yang terjadi. Petugas kepolisian dari Polsekta Padang Utara tetap berjaga-jaga, seandainya terjadi hal yang tak diinginkan.

Tensi keributan mulai mereda, saat Pol PP mulai membiarkan para karyawan melakukan pembongkaran sendiri. Tapi mereka tetap mengawasi pelaksanaan pembongkaran tersebut. (max)

_________________

C“Silahkan Tetap Berjualan”

“KAMI tidak pernah melarang mereka berjualan. Silahkan tetap berjualan. Tapi jangan permanen,” kata Kepala Pol PP Drs Dedi Henidal ketika dikerubuti wartawan di lokasi pembongkaran.

Dikatakannya, pemilik warung itu bisa berjualan dengan menggunakan gerobak. Tidak boleh permanen. Itupun baru boleh buka jam 4 sore. Bukan mulai dari pagi hingga malam hari seperti sekarang. Warung tersebut memang beroperasi dari pukul 9 pagi sampai jam 9 malam.

“Tidak ada niat kami membunuh mata pencarian mereka. Kami tidak melarang mereka berjualan. Cuma jangan beroperasi seperti sekarang,” ulang Dedi.

“Saya pun sering makan di sini. Tapi karena tugas, bagaimana lagi… warung ini tetap harus dibongkar,” ungkapnya.

Tak lama berselang, ucapan Dedi ini mendapat perlawanan. Seorang pria langsung menyerang dengan kata-kata tajam. “Kalau Apak ka mambunuah.., manga indak Apak racun se sadonyo. Indak paralu bagai takah ko. Kan lai sanang Apak mah,” katanya dengan emosi.

Dedi hanya terdiam. Seseorang berupaya menggiring si lelaki, agar emosinya tidak berlanjut. (max)

16 Komentar

  1. tiara said,

    24 Desember 2008 pada 12:22 am

    duuuhhh..paling males deh kl liat berita penggusuran2 gini….

  2. ilham saibi said,

    24 Desember 2008 pada 12:25 am

    ironis memang rasanya, satu sisi mereka adalah rakyat kecil, sisi lain mereka tak tahu apa apa tentang peraturan daerah.

  3. miss okinawa said,

    24 Desember 2008 pada 7:00 am

    menyelesaikan masalah tapi menimbulkan masalah buat org lain???
    Kejam!

  4. unai said,

    24 Desember 2008 pada 9:39 am

    ndak manusiawi blas dan ndak kasih solusi

  5. v3rdee said,

    24 Desember 2008 pada 1:09 pm

    Kenapa sudah sering makan disana ga di-sosialisasi-kan PERDA-nya pak… eh malah ada peintah gusur baru digusur. aneh udah tau dari awal orang salah ga ditegur. saat sudah tegantung baru diputus talinya.

    Seharusnya saat si BapaK itu sebagai pasukan penegak PERDA, harus ikut mensosialisasikan setiap perda yang ada bukan main tindak aja “di lecut baru ka batindak”, alasan aja demi tugas.. bukannya orang yg jualan itu juga demi makan dan sekolah anaknya.

    Susah, siapa yang salah?

    tolong agiah tau Pak POL PP tu ciek Da Max, ambo lai setuju jo penegakan aturan.. cuma implementasi penegakan aturan itu yang ambo indak satuju :D Rusak Nagari Ko nyo bueknyo :D

  6. hendri said,

    25 Desember 2008 pada 3:29 pm

    emang lokasinya gimana da max?? ganggu ketertiban umum kah??? surat ijin mereka ada ga?? kalo emang ada, perda mana yang melarang mempermanentkan usaha kecil???

  7. Tan Malaka said,

    30 Desember 2008 pada 11:55 am

    Salam…
    memang selalu menyedihkan jika melihat berita penggusuran di media massa…
    tetapi, terkadang saudara-saudara kita tidak mengindahkan kenyamanan masyarakat umum..
    para pedagang kaki lima terkadang seenaknya memakai badan jalan sehingga memmbuat kemacetan dan mengganggu pejalan kaki karena trotoar sudah dipakai untuk berjualan..
    namun, pemerintah juga tidak memberikan solusi yang tepat kepada para pedagang kakilima…pemerintah “main gusur” tanpa menawarkan solusi untuk tetap membiarkan agar mereka tetap dapat hidup…
    contoh yang baik bisa dilihat dengan apa yang telah dilakukan oleh walikota solo…
    di solo, pedagang kakilima awalnya memang menggangu kenyamanan dan fasilitas umum, namun pemerintah tidak main gusur…walikota solo mengundang makan semua pedagang kalilima. setelah makan mereka pulang. setelah undangan makan ke 54, walikota baru menyampaikan maksud untuk memindahkan mereka ke tempat yang telah disediakan…
    para pedagang dengan senang hati melakukan perintah walikota, bahkan proses pemindahan dilakukan dengan pesta arak-arakan..
    rakyat senang, pemerintah senang…kota pun menjadi bersih dan pedagang kaki lima tetap dapat hidup dengan berjualan ditempat yang telah disediakan..

  8. warmorning said,

    30 Desember 2008 pada 4:32 pm

    kejam, selalu dengan alasan : penataan dan keindahan kota !!
    hah,
    salam ! :)
    dan met ultah buat palanta-nya pak !

  9. Cengkunek said,

    30 Desember 2008 pada 4:45 pm

    biasa tu
    petinggi aparat kita mana peduli halal haram
    yg dipikir cuma legalitas & uang “sama2 tau”
    kalo pasukannya paling2 cuma peduli kata boss, mana sempat mikirin kata nurani
    kekmana lagi?

  10. zoel said,

    30 Desember 2008 pada 5:29 pm

    ya seperti pisau bermata dua,, disatu sisi terkadang pkl itu emang kurang tertip, namun hendaknya pemerintah memberikan alokasi tempat lah…

  11. buzandroses said,

    2 Januari 2009 pada 12:40 am

    Setujuh ama om @v3rdee, seharusnya aparat sebagai pelindung masyarakat harus bisa melakukan pendekatan2 ataupun sosialisasi2 dan memberikan pengertian apabila lahan mencari nafkah itu berpotensi untuk dilakukan penggusuran. Yang diharapkan nantinya jika suatu saat ada penggusuran sudah para pencari nafkah sudah siap, dan kalau perlu diberikan alternatif lahan mencari nafkah yang baru.
    Ironis sekali sering makan disana kok ujung-ujungnya hanya menanamkan rasa benci pada masyarakat disana Pak :(. Coba seperti cerita om @Tan Malaka di Solo itu, kan semuanya jadi enak Pak.

  12. abdullah khusairi said,

    3 Januari 2009 pada 4:56 pm

    ya…. menyedihkan…

  13. rafles said,

    4 Januari 2009 pada 6:31 pm

    Kelihatannya pemimpin kota padang bukan pemimpin seperti Umar bin Khatab. Malahan sangat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan saidina Umar.
    Saidina Umar memperhatikan rakyatnya yang kelaparan. Tetapi PEMIMPIN Kota Padang malah membuat rakyat kelaparan.

    Siapa yang salah?

    Tanyalah hati nurani mu Hai PEMIMPIN.

  14. 7 Januari 2009 pada 1:03 pm

    gak ada ya cara lain yang lebih manusiawi buat penyelesainan masalah anatara sesama manusia….menyedihkan

  15. junaidi said,

    8 Januari 2009 pada 2:39 pm

    memang pol.pp.sering arogansi menjalankan tugasnya.mentang2 dibekingi oleh aparatur negara.dan sering oper akting.

  16. Ali Cestar said,

    8 Februari 2011 pada 1:14 pm

    Problematika di Padang selalu dilematis buat saya. Ondeh Mande…


Tinggalkan Balasan ke hendri Batalkan balasan